AKU, DUNIA. MIMPIKU

Sekilas Semua Itu Tampak Nyata Namun Penuh dengan Kepalsuan
0

BANGSAKU

Bangsaku rindu akan
Tanah yang merdeka, udara yang tak harus di beli
Tapi hanya sebatas kerinduan
Merindukan tak terbatas
Bangsaku orang yang lapar
Lapar akan kebenaran dan keadilan
Tapi tak pernah mau mengisi
Perut dengan kebusukan dan keserakahan
Bangsaku punya kehormatan di ujung tiang
Tapi tak pernah menjilat Demi kekuasaan demi penindasan
Bangsaku, Sampai kapan diam menjadi hartamu
Sampai kapan lidah mu kelu
Menjadikan benar itu adil
Aku Bersama Mu BANGSAKU
0

WAKTU

Di setiap detik, menit, jam…

Aku ingin menghabiskannya denganMenatap tajam matamu

Melihat setiap detail wajahmuuntuk selalu ku ingat

Karena waktu terus menipis

Dan ku ragu waktu itu

Cuma Sedikit untukku

Untuk bisa melindungimu

memberikan bahuku untuk bersandar di kala sedihmu

memberikan jariku untuk mengahapus butiran air matamu

memberikan mataku untuk melihat kegelapan mu

memberikan kaki ku untuk mu melangkah ke depan dalam keraguanmu

waktu berikan aku sedikit lagi keadaan mu…… 4 u 8

0

ANGKA 4 DI HARI JUM'AT

Keramaian malam masih terasa riuh di tengah ruang kaku yang dipenuhi orang-orang yang sibuk memikirkan langkahnya ke depan. Aku terduduk di antara mereka menatap satu persatu wajah yang kisut, karena malam telah berlalu dengan cepat seiring dengan oksigen yang mulai menjadi jarum yang dingin menggelitik kulit.

"Ayo!! temani aku keluar sebentar!!" Lamunan ku tersentak mendengar kata itu seraya buyarkan lamunan ku yang kosong acuhkan keramaian. Aku terpaksa berdiri karna kaos oblongku ditarik oleh salah seorang temanku. Entah kenapa malam itu tidak seperti biasanya semuanya terasa aneh bagi ku. Seiring dengan Mitos mengahantuiku kening bagian kiri tak berhenti menari ria bergetar-getar. Yang menurut cerita orang terdahulu dari kampungku adalah pertanda buruk akan terjadi. Tapi aku sebenarnya antara percaya dan tidak terhadap keyakinan seperti itu.

Setelah agenda kegiatan malam itu berakhir, ku rebahkan badan ku sejenak. Melepaskan setiap hembusan nafasku seraya menutup bola mataku yang sudah lelah menatap dentingan jarum jam yang sudah menunjukkan "angka 4". Telinga ku berdesik ke arah suara getaran ponselku seraya tangan ku meraba dan menekan tombol yang setia menemaninya. Otakku terpacu karena suara yang terdengar adalah tangisan yang tak biasa ku dengar namun suara yang tak asing dengan terbata-bata menyebutkan sebuah nama. "Kakak... Nidar Meninggal....". Tanpa bicara ku hentikan untuk mendengar suara itu. Ku jatuhkan titik-titik air ke tubuh ku untuk menghapus mimpi buruk yang baru terdengar yang begitu aneh bagiku.

Ku kuatkan langkah ku semnbari mengawal putaran roda kuda besiku menuju tempat yang ku benci seumur hidupku. Berjalan di atas lantai putih yang penuh dengan aroma yang pekat dengan bahan kimia serta pembersih lantai yang khas. Suasana makin tak ku kenal lagi orang-orang yang tertunduk kaku tanpa sekilas senyum menjadi pemandangan yang suram. Ku hampiri ruangan kecil itu, di atas sebuah rangkain besi berwarna putih ku lihat tubuh yang kaku, pucat dan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tak mau ku memandang tapi batin ku meronta, tak mau ku alihkan pandangan ku tapi perasaan ku kelu. Kuputuskan untuk beranjak pergi tak mau melihatnya lagi.

Semua itu lebih baik menjadi mimpi bagiku, tak mau aku meneruskan tidur ku lagi. Namun aku terbangun dimana kali ini aku telah berdiri di depan segundukan tanah basah yang dihiasi dua potongan kayu yang berdiri kokoh dengan bertuliskan YUSNIDAR WAFAT Jum'at, 4 Februari 2011. Selamat Jalan Saudariku Semoga kamu tenang di sana. Aku kirimkan setumpuk doa untukmu.

0

TENTANG MUSIM YANG TELAH TIBA OLEH HALIM BAHRIZ

telah tiba dengan tiba-tiba
pada sebuah perjalanan
suatu musim yang memaksa daun-daun berguguran terlalu cepat
daun-daun yang sebenarnya masih sangat hijau

kemarin lalu, rasanya semua telah kita pasrahkan di pucuk-pucuk prambanan
pada pesta perayaan 31 desember
saat kita, kau dan aku
bagai sepasang kupu-kupu bersayap biru
terbang berkejaran diantara pucuk-pucuk prambanan
menjelmakan prambanan menjadi istana kita
tentu aku adalah pangeran dan kau,
putri kerajaan tetangga yang berhasil kucuri

tapi, pagi ini….
saat mata masih serupa kabut
saat selimut dan dingin pagi masih memperebutkan kita
kenapa kau telah melepas pelukanku?
kau seolah hanya mimpi indah sepanjang malam tadi
lalu, menjelma menjadi kecewaku pagi ini,
sungguh pagi yang kembali biasa.
seperti 2 tahun lalu, saat rasa rindu masih milik ibu.

kenapa dengan cepat kau telah menjadi kenangan?
dan aku,
kau paksa menjadi sebuah kekalahan
bukankah baru tadi malam kau masih memanggilku, Sayang ?
entah kau artikan apa pucuk-pucuk prambanan kita?

kini, tak ada lagi yang melipat baju.
merapikannya dalam tas ransel
sembari mengoceh
yah, meski aku tahu, ocehan-ocehan itu adalah sebuah cinta

kini tak ada lagi yang mengingatkan aku jalan pulang.
kerajaanku ….tempat kusinggah.

aku pergi ke danau,
mengadu pada langit.
bercerita dengan angin
tentang sebuah musim yang datang tiba-tiba

aku lari ke pantai,
ingin ku larung pucuk-pucuk prambanan itu
paling tidak menjadi samar bersama karang
meski aku yakin, ku tetap mampu membedakannya

sebuah musim yang sungguh tiba-tiba
bahkan sangat tiba-tiba

akan kau simpankah pucuk-pucuk prambanan kita? Sayang…

kau adalah prambananku
sama-sama telah menjadi masa lalu
sama-sama mengagumkan
sama-sama tak terlupakan

kini. kau dan aku
seperti ranting patah
kau tetap dipohon
sementara aku bersiap menjadi busuk
bersama tanah, dan air yang akan meleburku

kini, aku hanya sanggup menunggu keajaiban
menitipkan harapan pada bintang yang sebenarnya tak pernah jatuh.

0

FEBRUARI MALAM

februari malam...
ingin ku habiskan malam ini...
tak ku lewatkan sedikitpun...
hempasan angin yang lewat...
di celah kecil mengintip kosong...

masih di kamar ini..
aku duduk mengahabiskan malam...
aliran peluh ku menggapai...
mimpi dan cita...
yang selalu ku letakkan...
Di depan keningku...
0

JANUARI

Januari telah berlalu pergi dengan sejuta kenangan pahit yang sulit dilupakan oleh kepalaku, ingatanku, hatiku, batinku. Aku merasakan pilu dan pahit getirnya hidup dalam melangkahkan kaki yang terasa berat yang seakan tidak ingin melakang jauh, terduduk diam meratapi takdir yang terus berputar dengan roda kehidupannya yang tak mau mengalah dengan waktu yang selalu pergi dengan melambaikan senyuman.
Aku menjadi sebongkah batu yang membisu ketika di lemparkan, hancur ketika dibenturkan tapi tak mau bicara bahwa itu sungguh sangat menyakitkan.
Tapi kini aku telah mencoba bangkit karna Januari itu telah pergi. Pergi bersama seluruh kengangan yang tak pernah akan ku lupakan.